PANDANGAN IBN HIBBAN PADA SIFAT ALLAH TA`ALA
Duniacahayahati.blogspot.com Situs tentang Ilmu Ma`rifatullah (Tauhid) Didalamnya banyak mengandung Ilmu Hikmah yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang diberikan Ilmu ini.
PANDANGAN IBN HIBBAN PADA SIFAT ALLAH TA`ALA
Kitab Sahih yang ditulis oleh Imam Muhammad Ibn Hibban yang Wafat.354 Hijriyyah Adapun Kitab yang masyhur yakni “Sahih Ibn Hibban”.
Namun perlu diketahui bahwa ini sebenarnya berjudul “Al-Taqasim wal Anwa’ . dalam Kitab ini sangatlah sukar memahami susunannya apalagi dengan keterbatasan keilmuan yang dimiliki oleh sebab itu seorang Tokoh yang bernama Ali Ibn Balban Al-Farisi yang wafat 739 Hijriyyah merubah susunan kitab ini menjadi bab-bab fiqh agar mudah digunakan, lalu diberi nama “Al-Ihsan fi Tartib Sahih Ibn Hibban.
Dalam hal ini Ibn Hibban menggunakan metode lintas kedisiplinan pada kandungan hadits-hadits Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam pada perintah ataupun larangan, begitu juga pada khabar (berita) dan lain-lain, dimaknai dengan amat sangat teliti dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang diterima oleh para fuqaha.
Kitab ini merupakan sesuatu yang di analogkan sebagai samudera luas yang mengandungi pelbagai mutiara yang banyak belum tersentuh oleh manusia. Berbagai aspek kajian yang sudah dilakukan pada kitab ini, namun tetap terlalu sedikit yang didapatkan berbanding ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya.
Hadits-Hadits Sifat Allah Ta`ala
Hadits-hadits sifat Allah Ta`ala yang dimaksudkan ialah pelbagai riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam yang menyebut Dzat dan sifat-sifat Allah Ta`ala.
Dalam kajian Ilmu ini, riwayat-riwayat ini melahirkan dua pendekatan para ulama dalam menyikapinya dengan dua metode ini sudah Masyhur, Yakni :
1.Tafwid (Masyhur di kalangan ulama generasi salaf)
2.Takwil (Masyhur di kalangan khalaf).
Adapun Sikap Imam Ibn Hibban dalam hal ini sangat berbeda dengan sikap gurunya, Imam Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaimah yang wafat 311Hijriyyah, sedangkan Ibn Khuzaimah cenderung “menetapkan (ithbat)” Hadits-hadits itu sesuai dengan zhohirnya tanpa takwil, Sebagaimana terlihat dalam kitabnya yang bertajuk “Kitab Al-Tauhid wa Ithbat Sifat Al-Rab”
Ibn Hibban amat disiplin serta aktif dalam menafsirkan setiap kata yang mengandungi kesan tasybih dalam hadis-hadis tersebut berpandukan kaidah bahasa Arab yang sangat relevan.
Ibn Hibban berpendapat bahwa kata-kata seperti ini mesti dipahami sesuai dengan konteks dan tradisi berbahasa yang hidup di masyarakat Arabia kala itu. Bahasa Arab terkenal sangat kaya dengan pelbagai gaya bahasa (uslub), Bahasa yang mengandung hikmah yang tersirat dan dapat dipahami oleh orang yang diberikan kepemahaman, salah satunya penggunaan tamthil (perumpamaan) dan tasybih (penyerupaan), dalam praktik perbincangan mereka. Tamthil dan tasybih ini dikenal kemudian dalam perkembangan Ilmu Balaghah dengan sebutan: majaz. Setiap pembaca hadis harus sadar akan adanya aspek majaz ini apabila membaca hadits-hadits Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam, dan harus segera menghindari penafsiran hakikat bagi kata-kata majazi.
Baca Juga "SYARAH TAUHIDUL AF`AL DAN TAUHIDUL RUBBUBIYYAH"
Baca Juga "SYARAH TAUHIDUL AF`AL DAN TAUHIDUL RUBBUBIYYAH"
Majaz dalam Hadits-Hadits Sifat Allah Ta`ala
dalam hal ini Ibn Hibban dan jumhur ulama, berpendapat bahwa hadits dikandungi oleh majaz sebagaimana Al-Qur’an dan teks-teks berbahasa Arab lainnya. Sebab majaz adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari tradisi berkomunikasi yang dilakukan bangsa Arab.
Maka berkata Ibn Al-Sayyid al-Bathliyusi yang wafat 521 Hijriyyah “Inilah pendapat yang benar, tidak boleh selainnya.” Lihat Abdullah bin Muhammad Ibn Al-Sayid Al-Batlyusi, “Al-Inshaf fi Al-Tanbih ‘ala Al-Ma’ani wa Al-Asbab allati awjabat Al-Ikhtilaf bayna Al-Muslimin fi Ara’ihim”, yang di tahqiq Dr Muhamad Ridwan Al-Dayah, Damsyiq: Dar Al-Fikr, 1987, cet. ke-3, hal. 71.
Ibn Hibban berkata “Menyebutkan hadits yang menunjukkan bahawa lafaz-lafaz ini yang berasal daripada kategori ini menggunakan lafaz-lafaz tamthil dan tasybih sesuai dengan tradisi masyarakat (Arab) tanpa menghukumkan dengan zahirnya.”
Ibn Hibban kemudian meriwayatkan hadis qudsi yang berisi perbincangan antara Allah Ta`ala dan seorang hamba pada hari kiamat yakni :
Allah berkata kepadanya: “Wahai anak Adam, aku sakit kenapa engkau tidak menjengukku? Manusia itu berkata: Wahai tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu padahal engkau adalah tuhan alam semesta? Allah berfirman: Tidakkah engkau mengetahui bahwa hambaku Si Fulan tengah sakit, namun engkau tidak menjenguknya. Tidakkah engkau tahu, bahawa jika engkau menjenguknya, engkau akan menemukan Aku di sisinya.”
“Al-Ihsan fi Tartib Sahih Ibn Hibban”, tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1987] 1/243.
Ibn Hibban menjadikan hadits ini sebagai hujjah bahwa Allah dan Rasul-Nya menggunakan kalimat-kalimat majaz tanpa menginginkan makna hakikat kata tersebut (“Aku sakit, mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?”). Kalau begitu, maka menjadi kewajiban manusia untuk menangkap dengan teliti pesanan yang disampaikan tanpa terjerumus dalam kekeliruan.
Dari dasar inilah, Ibn Hibban berikhtiar menafsirkan setiap hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah, yang zhohirnya nampak menyerupai sifat-sifat makhluk, dengan cara yang tidak menyimpang dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Metode-Metode penafsiran Ibn Hibban
1. Hadits Tentang “Diri (nafs)” Allah, “berjalan” dan “berlari”
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Sholallahu alaihi Wassalam bersabda: Allah Ta`ala berfirman: “Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan aku bersamanya selama ia menyebut-Ku. Sesiapa yang menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan menyebutnya di dalam diri-Ku (nafsi). Jika ia menyebut-Ku di dalam kumpulan manusia, maka Aku akan menyebutnya di dalam kumpulan yang lebih baik. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Ibn Hibban berkata: “Allah Ta`ala Sangat dan Terlalu Agung dan Tinggi untuk dinisbahkan baginya sifat-sifat makhluk, sebab tidak ada yang menyerupai-Nya sedikitpun. Kata-kata ini digunakan sesuai dengan tradisi (taaruf) yang berlaku di kalangan masyarakat.
Sesiapa yang menyebut Allah Ta`ala di dalam dirinya dengan ucapan atau perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya, Allah akan menyebutnya di dalam kerajaan Malakut-Nya dengan maghfirah sebagai tanda kemurahan-Nya. Dan sesiapa yang menyebut tuhannya di dalam sekumpulan hamba-hamba-Nya, Allah akan menyebutnya di sisi para malaikat muqarrabin dengan maghfirah dan menerima zikirnya.
Sesiapa yang mendekat kepada tuhannya dengan melakukan ketaatan sekedar satu hasta, maka maghfirah lebih dekat kepadanya sekedar satu depa. Sesiapa yang mendatangi amalan-amalan ketaatan dengan cepat seperti berjalan, maka pelbagai rahmat, maghfirah dan kasih sayang Allah akan mendatanginya dengan lebih cepat seperti berlari. Allah lebih tinggi dan lebih agung.”
2. Hadits tentang “Tangan” Allah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Sholallahu alaihi Wassalam Bersabda: “Tidaklah seorang hamba bersedekah dari hasil yang halal dan Allah hanya menerima dari yang halal dan hanya yang halal yang terangkat ke langit- melainkan sedekah itu seolah-olah diletakkan di tangan Allah yang Maha Pengasih ...” hingga akhir ke hadis.
Ibn Hibban berkata: “Kalimat (seolah-olah diletakkan di tangan Allah yang Maha Pengasih) menjelaskan bagimu bahwa hadits-hadits ini menggunakan lafaz tamthil tanpa ada hakikatnya atau diketahui kaifiatnya. Sebab lawan bicara (mukhatab) tidak memahami (pesanan) seperti ini melainkan dengan kata-kata yang disebutkan dengannya.”
Adapun pada hadits lain, dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam bersabda: “Tangan kanan Allah sangat penuh, tidak berkurang karena perbelanjaan. Selalu memberi di waktu siang dan malam. Tahukah kamu berapa banyak yang telah Allah belanjakan sejak menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya ia tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Nya. Tangan yang lain menggenggam, mengangkat dan menurunkan. Dan Arasy-Nya di atas air.”
Ibn Hibban berkata: “Hadits-hadits yang disebutkan ini membuat orang yang tidak menguasai ilmu menyangka bahwa ahli hadits adalah musyabihah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kami berlindung kepada Allah daripada terlintas pikiran itu di benak satu orangpun ahli hadits.
Namun hadits-hadits ini menggunakan tamthil (majaz) untuk sifat Allah sesuai dengan (tradisi berbahasa) yang dikenal oleh masyarakat tanpa menyebutkan kaifiat sifat-sifat Allah. Maha tinggi tuhan kami daripada diserupakan dengan makhluk atau disebutkan kaifiat sifat-sifat-Nya. Sebab tidak ada yang menyerupai-Nya sedikitpun.”
3.Hadits tentang “Kaki” Allah
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Sholallahu alaihi Wassalam bersabda: “Dilemparkan (ahli neraka) ke dalam Neraka, dan Neraka terus berkata: tambahkan lagi. Sehingga Allah Swt meletakkan kaki (qadam)-Nya di dalam Neraka, maka ia berkata: cukup, cukup.”
Berkata Ibn Hibban: “Hadits ini termasuk hadits-hadits yang menggunakan tamthil mujawarah. Pada hari kiamat, dicampakkan ke dalam Neraka manusia-manusia dan tempat-tempat yang dilakukan maksiat di dalamnya. Neraka terus meminta untuk ditambahkan, sehingga Allah Subhanahu wa Ta`ala meletakkan tempat (berpijak) orang-orang kafir dan tempat-tempat maksiat itu di dalam Neraka. Maka penuhlah Neraka, sehingga ia berkata: cukup-cukup.
Bangsa Arab menggunakan di dalam bahasanya lafaz kaki (qadam) untuk makna: tempat (berpijak). Allah Ta`ala berfirman: mereka akan mendapatkan qadam yang baik di sisi tuhannya (Qs Yunus ayat 2), Yakni: tempat yang baik. Bukan maknanya bahwa Allah Ta`ala meletakkan kaki-Nya di dalam Neraka. Maha tinggi Allah daripada pemahaman seperti ini dan yang seumpama dengan-Nya.”
4. Hadits Tentang Allah “Tertawa”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta`ala tertawa karena dua orang laki-laki. Salah seorang daripada keduanya membunuh yang lain, namun keduanya masuk syurga.”
Ibn Hibban berkata: “Hadits ini termasuk dalam kategori yang aku sebutkan dalam kitab-kitabku, bahwa bangsa Arab seringkali menyandarkan perbuatan kepada pihak yang memerintahkan (perbuatan itu), sebagaimana hanya disandarkan kepada pelaku (perbuatan itu). Begitu juga, sebuah gerakan makhluk seringkali disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala,
Sabda Nabi Sholallahu alaihi wassalam: Allah tertawa karena dua orang laki-laki, maknanya: Allah membuat para malaikat tertawa dan kagum melihat seorang laki-laki kafir yang membunuh muslim, kemudian Allah memberinya hidayah sehingga ia masuk Islam setelah itu, maka keduanya masuk syurga. Allah membuat mereka kagum dan tertawa atas suatu kejadian yang telah ditentukan-Nya. Maka dinisbahkan tertawa yang merupakan perbuatan malaikat kepada Allah Subhanahu Wa Ta`ala, sebab Allah yang memerintahkan dan menghendakinya.
Dalam hal ini Penulis tidak sependapat kepada Ibnu Hibban bahwa malaikat yang Tertawa dengan di nisbahkan pada kalimat : Allah Tertawa. walaupun ditutup kalimatnya oleh Ibnu Hibban dengan Sebab Allah yang memerintahkan dan menghendakinya ( akhir-akhirnya tetap kembali juga kepada Allah), ini membuat putaran-putran yang penulis tidak perlu dilakukan (Elfiansyah Elham Spd)
C. Ibn Hibban dan Tafwid
Ibn Hibban juga mengambil sikap tafwid, yakni hanya menerima dan mengimani tanpa penafsiran. Saya melihatnya sebagai sebuah sikap berhati-hati apabila tidak menemukan penafsiran yang cukup meyakinkan untuk kalimat yang hendak ditafsirkan. Sejauh bacaan saya, tidak satu orangpun yang mampu mentakwil semua kalimat dalam hadits sehingga meninggalkan tafwid sama sekali, sebagaimana tidak ada satu orangpun yang mampu berpegang kepada tafwid sepenuhnya sehingga meninggalkan takwil sama sekali.
Beliau berkata: “Sifat-sifat Allah tidak dapat dijelaskan kaifiatnya dan tidak dapat dikias dengan sifat makhluk. Sebagaimana Allah berbicara tanpa alat dengan gigi, lidah dan bibir seperti makhluk, maha tinggi Allah dari penyerupaan ini, dan tidak boleh dikias ucapan-Nya dengan ucapan kita karena ucapan makhluk menggunakan alat, sementara Allah berbicara seperti :mana kehendak-Nya tanpa alat- maka begitu juga Allah turun tanpa alat, pergerakan dan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain...”
"الحمد لله الذي ليس له حد محدود فيحتوى، ولا له أجل معدود فيفنى، ولا يحيط به جوامع المكان ولا يشتمل عليه تواتر الزمان"
“Segala puji bagi Allah, Dzat yang bukan merupakan benda yang memiliki ukuran. Dia tidak terikat oleh hitungan waktu maka Dia tidak punah. Dia tidak diliputi oleh semua arah dan tempat. Dan Dia tidak terikat oleh perubahan zaman” (At-Tsiqât, Jilid. 1, hal. 1).
Dalam kitab yang lain Ibn Hibban menuliskan:
"كان- الله- ولا زمان ولا مكان"
“Allah ada tanpa permulaan, Allah ada sebelum ada tempat dan waktu” (Shahîh Ibn Hibbân, j. 8, h. 4).
Ibnu Hiban Juga berkata:
"كذلك ينزل- يعني الله- بلا ءالة ولا تحرك ولا انتقال من مكان إلى مكان "
“Sifat Nuzûl Allah bukan dengan alat, tidak dengan bergerak, dan bukan dalam pengertian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain” (Shahîh Ibn Hibbân, Jilid. 2, Halaman. 136)
D. Metode-Metode Ahli Hadits
Metode pendekatan Ibn Hibban ini tidaklah asing di kalangan ahli hadits mutaqaddimin dan mutaakhirin. Pendekatan metodologis seperti ini pernah dipraktikkan oleh ahli hadis sebelum beliau seperti Ibn Qutaybah Al-Dinawari (w.276H) dan lain-lain.[11] Metod ini juga digunakan oleh ramai ahli hadis setelah beliau seperti Abu Sulaiman Al-Khattabi [w. 388 H], Ibn Furak Al-Isbahani [w. 406 H], Ibn Hazm Al-Zahiri [w. 456 H],[12] Al-Baihaqi [w. 458 H], Ibn Abdil Bar [w. 463 H], Abu Al-Wafa Ibn 'Aqil Al-Hanbali [w. 513 H], Ibn Al-Jauzi [w. 597 H], Al-Hafiz Ibn Daqieq Al-‘Ied [w. 702 H], Ibn Hajar Al-Asqalani [w.852H], hingga pakar-pakar hadis yang hidup pada hari ini.
Adapun pada sisi yang lain, dapat ditemukan pula golongan ahli hadits yang berarah kepada motode “menerima tanpa takwil” seperti Ibn Khuzaimah [w.311H], Al-Ajurri [w.360H], Ibn Mandah [w.470H], Ibn Taymiah [w.728H], Al-Dzahabi [w.748H], Ibn Al-Qayyim [w.751H], Ibn Kathir [w.774H] dan ramai ahli hadis lainnya.
PESAN BUKU AL FUAAD FI NUURIN ( KEMURNIAN TAUHID )
Comments