Tauhid Bab Syirik Khofi (Tersembunyi)
Duniacahayahati.blogspot.com Situs tentang Ilmu Ma`rifatullah (Tauhid) Didalamnya banyak mengandung Ilmu Hikmah yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang diberikan Ilmu ini.
Tauhid Bab Syirik Khofi (Tersembunyi)
Oleh : Tim Tauhid Nuurul Fuaad
Pada Kajian Ma`rifatullah pada Bab Syirik Khofi yakni Syirik tersembunyi sangat penting dalam mempelajarinya dan merupakan suatu kewajiban yang harus diketahui oleh para Salik untuk berusaha mencapai jalan dalam Ma`rifatullah.
Namun yang perlu di ingatkan bahwa dalam Hal Riya dan Sum`ah perlu ada tambahan agar tidak salah dalam hal ini disebabkan dalam hal yang disampaikan oleh Ustadz Elfiansyah Elham Spd adalah : rangkuman dari Kajian yang diadakan Di Majelis Nuurul Fuaad.
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Menyiarkan suatu Kenikmatan dalam hal kebaikan merupakan istilah yang lazim digunakan untuk memvisualisasikan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah Ta`ala kepadanya atas anugerah itu seseorang perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam.
Perintah untuk menceritakan kenikmatan pada ayat yang tercantum diatas ditujukan khusus untuk Rasulullah Sholallahu alaihi Wassalam. Akan tetapi perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Sebagaimana Ibnu Katsir pada kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Berdasarkan ayat di atas, maka mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah Ta`ala. sebagaimana Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18).
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal sholeh tersebut.
Dalam hal ini Hasan bin Ali menyatakan tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.”
Adapun Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Maka tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah Ta`ala. Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Adapun Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan terbalik dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi).
#WAAMMABINIKMATI #Riya #Ujub #Robbika #Fahadits
Silahkan juga membaca cara membuat aplikasi dengan bahasa pemrograman Php, Javascript (ajax), Javasript(js) :
Comments